Beberapa waktu lalu, saya
melihat seorang ibu menuntun anaknya di rumah sakit. Dia mendekati loket obat
kemudian duduk sebentar. Saya sempat tak memperhatikannya. Tapi saat sekilas
melirik, ternyata ada sesuatu yang miris terjadi pada anak itu. Anak itu
menderita keterbelakangan mental.
Saya prihatin melihatnya. Karena
memang banyak juga anak2 SLB sering lewat depan rumah bersama ibunya masing2.
Walau saat saya ajak obrol mereka tidak nyambung, tapi itu cukup menyenangkan.
Sehingga sebuah kesadaran menampar saya.
Seorang ibu. Seorang ibu tak
pernah mengeluh bagaimanapun keadaan dan kondisi anak yang dilahirkannya.
Mereka malah bersyukur dan menyunggingkan senyum sumringah. Seakan-akan ingin
mengatakan pada dunia, “Lihatlah anakku yang luar biasa ini!”
Kau tahu sahabat, tak ada cinta
seorang manusia (dari kalangan manusia biasa seperti kita) yang lebih besar
daripada cinta seorang ibu pada anaknya (untuk ibu yang masih waras).
Tak kenal pamrih, tak kenal
lelah, tak peduli fisik dan banyak lainnya. Berapa butir nasi yang sudah kita
makan dan itu hasil buatan ibu? Berapa jumlah ‘harga’ masakan yang kita makan
dan itu hasil buatan ibu? Oh, betapa kurang bersyukurnya kita. Kita terlalu
picik untuk sekadar bisa ‘melihat’ ibu kita.
Saya ambil contoh.
Saat kita melihat ibu tidak
sesuai dengan yang kita harapkan, kita berkata: “Aku ingin ibu lebih hebat”,
“Aku ingin ibu mengerti aku”, “Aku ingin ibu bijaksana dan cerdas” dan kata2
keluhan lainnya.
Sadarkah kalau kita beruntung
masih memiliki seorang ibu apapun kondisinya?
Tahu apa kita tetang hal yang
ingin ibu berikan sebagai hal terbaik yang ia anggap baik? Tahu apa kita
tentang hati ibu yang lembut saat mendengar keluhan kita? Walau ibu tak
sempurna, mereka sudah mencoba untuk jadi sempurna. Bekerja keras mendidik kita
dari kecil dengan ilmu yang terbatas. Mengolah otak saat tak punya uang untuk
sekadar belanja dan memasak.
Saya memang bukan orang yang
sangat berbakti pada orang tua, tapi saya adalah orang yang belajar menjadi sangat
berbakti pada orang tua.
Ibulah yang mengandung,
menyapih, menyuapi, memandikan, antara hidup dan mati saat melahirkan. Selalu
yang pertama dan terakhir demi keluarga.
Uh, saya masih picik. Kenapa tak
melihat orang yang tak lagi memiliki ibu? Yang berharap bertemu dengan ibu
hanya dalam mimpi? Atau bertemu kelak di Surga-Nya yang indah.
Sudah seberapa kenalkah kita
dengan ibu kita? Mungkin hanya 1% saja. Kita belum mengetahui 99% dirinya yang
luar biasa. x__x
*Ini bisa diterapkan pada Ayah, Bibi,
Paman, Saudara, Ibu asuh atau seseorang yang sudah rela dan ikhlas merawat
kita. Jangan kotak2an pemahaman ini sahabat.
**Terinspirasi dari tulisan Bang
Tere Liye.
Wallahu a’lam.
0 comments