Definisi manusia akan kehidupan
mulai berubah jauh dari fitrahnya. Benar2 sangat jauh. tak terkira, bahkan tak
terkendali. Mengapa? Mungkin karena opini umat manusia mulai bergeser dari
kesederhanaan jadi kemewahan. Dan sepertinya inilah saat dunia dilapangkan oleh
Allah SWT, seperti yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW.
Apa saja yang bergeser?
Contohnya adalah makanan. Sekarang banyak yang berpikir kalau makanan yang kita
butuhkan itu harus yang enak2. Membuat kenyang dan bikin puas keinginan yang
mungkin sudah ditahan2 beberapa hari. Shah?
Ada juga yang lain. Zuhud itu
katanya tidak perlu hidup berkecukupan. Yang penting beribadah nomor satu,
jangan pedulikan dunia. Mungkin beberapa orang lupa, kalau Allah meminta kita
untuk tidak melupakan dunia walau sejatinya dunia itu tidak akan dibawa mati.
Itu adalah dalam al-Qur’an, silakan cari lewat terjemahannya.
Ah, betapa mirisnya melihat
keadaan umat Islam saat ini. Yang kaffah dianggap aneh. Sementara yang
setengah2 dibilang wajar. Bahkan yang maksiat pun dianggap biasa. Lihat saja,
di media massa, acara dan iklannya menyuguhkan maksiat mata. Entah berapa dosa
yang dihasilkan oleh orang2 liberal itu. Mereka seperti membagi2kan permen secara
gratis pada umat Islam. Mereka malah senang, apalagi JIL (Jaringan Islam
Liberal atau sering diplesetkan Jaringan Iblis Laknatullah) yang tugasnya
memang memecah belah umat Islam di Indonesia.
Kehidupan, yang sejatinya penuh
kesederhanaan dan keseimbangan, mulai roboh dengan ulah oknum2 yang senang
sekali membuat kekacauan dimana2. Baik lewat interaksi langsung atau sekadar
interaksi melalui media lainnya.
Kita umat Islam harusnya sadar.
Betapa kita mudah sekali dicerai berai oleh musuh. Beda paham sedikit, cekcok.
Bahkan sampai menjelek2an ulama tanpa ilmu dan informasi yang memadai. Bukankah
sebagian prasangka itu dosa?
Untuk itu, dalam kehidupan ini,
kita harus bersahaja. Jadikan dunia di genggaman tangan dan akhirat di hati.
Walaupun memang memiliki harta yang banyak, tetaplah mau berbagi. Untuk yang
memiliki harta yang sedikit, tetaplah qona’ah.
Wallahu a’lam.
0 comments