Surak Ibra, Kenang-kenangan Sebuah Perjuangan

By Abdullah Abus - 6:35 PM

Oleh : Agus Abdullah

Garut bukan hanya Kota Dodol atau Kota Chocodot, bukan pula hanya kota para mojang sunda yang aduhai geulis-nya. Namun Garut lebih dari itu. Kota Budaya, Kota Sejarah, Kota Kuliner (Indonesia tidak mungkin lepas dari kuliner kan?), Kota Kenangan (ehem) juga kota yang layak dijadikan destinasi wisata, baik dari dalam maupun luar Jawa Barat. Banyak ragam kesenian yang menarik untuk dibahas dan diketahui banyak orang. Salah satunya adalah kesenian Surak Ibra.

Sebagai sebuah kesenian yang unik, mungkin tidak banyak orang yang mengetahui nama Surak Ibra. Jangankan orang luar Garut, orang Garut sendiri juga belum tentu tahu apa itu Surak Ibra. Sebagai sebuah kesenian khas Garut, Surak Ibra sangat menarik jika ditilik dari sejarah dan praktiknya. Belum lagi makna yang terkandung di dalamnya.

Jadi, Surak Ibra itu bagaimana? Uniknya apa? Mengapa terasa asing bagi masyarakat Sunda? Baiklah, kita mulai penjelajahan ini. Jangan lupa pasang sabuk kenangan, eh pengaman dalam perjalanan mengenal Surak Ibra lebih dekat.


Sejarah Terciptanya Surak Ibra

Pada tahun 1910, Raden Djajadiwangsa (yang kelak akan menjadi pejuang kemerdekaan) menciptakan sebuah kesenian bernama Boyongan atau Boboyongan. Beliau adalah putra dari seorang kiai bernama Raden Wangsa Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Papak atau Sunan Papak. Kampung Sindangsari yang terletak di Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja adalah titik awal mula kesenian ini diciptakan. Boboyongan sendiri memiliki arti sindiran atau bayangan, namun bisa juga dimaknai sebagai nu dialung-alungkeun atau yang dilempar-lemparkan.


Pertunjukan Surak Ibra
(Sumber : digarut.com)

Kesenian ini lalu dikembangkan oleh Bapak Eson, seorang tokoh yang dihormati oleh masyarakat, sehingga namanya berubah menjadi Boboyongan Eson atau Surak Eson. Surak sendiri bermakna bersorak atau mengungkapkan kegembiraan dengan mengeluarkan sorak sorai, atau dalam istilah sundanya adalah eak-eakan. Namun semenjak beliau meninggal, tak ada yang mau meneruskan, sehingga kesenian ini mulai meredup. Tapi lama kelamaan, nama Surak Eson berganti menjadi Surak Ibra.

Siapa itu Ibra? Nah, Ibra atau sering disebut Abah Ibra merupakan seorang jawara silat yang kharismatik di Kampung Babakan Panjang, desa setempat. Maka sebagai penghormatan untuk beliau karena sudah melestarikan kesenian ini, masyarakat mengubah nama Surak Eson menjadi Surak Ibra.

Sebenarnya, pada tahun 1910, Kasepuhan Cinunuk pernah membentuk Himpunan Dalem Emas (HDE) untuk melestarikan Surak Ibra. Namun pada tahun 1948, HDE dibubarkan dengan pertimbangan bahwa kesenian ini sudah menjadi milik negara, bukan hanya milik orang Garut saja.


Kesenian Surak Ibra Ada Dua?

Mungkin ini adalah informasi yang sangat penting. Karena nama Surak Ibra tidak hanya berasal dari Kecamatan Wanaraja, tapi juga dari kesenian yang sejenis di Kecamatan Cibatu, Garut. Yang membedakannya, Surak Ibra Cibatu menggunakan unsur magis dalam pelaksanaannya. Semisal menyediakan terlebih dahulu sesajen sehari sebelum acara dimulai. Bahkan alas-alas yang akan dipakai pun harus diberi mantra terlebih dahulu.

Sehingga bisa dikatakan saat kesenian ini berlangsung, beberapa pemain mengalami keadaan trance, lalu tidak sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib. Sementara Surak Ibra Wanaraja tidak menggunakan ritual semacam itu. Sehingga bisa dikatakan kalau Surak Ibra yang ini, lebih menonjolkan sisi hiburan daripada hal-hal yang magis. Apalagi mengingat latar belakang Raden Djajadiwangsa, sebagai anak kiai tentu beliau tidak membenarkan hal-hal seperti ritual memanggil makhluk lain.

Perbedaan lain yang menonjol adalah tahun kesenian itu dimulai. Surak Ibra versi Wanaraja dimulai pada tahun 1910, sementara versi Cibatu dimulai pada tahun 1920.


Para Pemain Surak Ibra


Para Pemain Surak Ibra di Atas Panggung
(Sumber : digarut.com)

Pertunjukkan Surak Ibra versi Wanaraja ini bisa dikatakan sebagai seni yang memadukan antara Reog dan Pencak Silat. Tidak hanya alat musik dari Pencak Silat yang diambil, tapi juga gerakannya. Namun gerakannya ditambah dengan sejumlah pengembangan. Dengan jumlah pemain yang banyak, sekitar 30 sampai 100 orang lebih, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukkan kolosal dan harus dilaksanakan di tempat terbuka, sebuah lapangan misalnya.

Pemain pertunjukkan ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

1.    Penari Bodor

Dia adalah sosok yang diangkat atau diboyong. Dia memiliki peran untuk ngabodor atau melucu. Biasanya hanya terdiri dari satu orang. Ini menandakan bahwa pemimpin itu hanya satu orang, yang diangkat dari dan oleh rakyat. Penari bodor memiliki satu penari cadangan, yang tugasnya menggantikan penari bodor utama jika dia tidak menari. Dia juga bertugas meramaikan suasana saat pertunjukan.

2.    Penari Surak

Mereka biasa disebut pamunggu (pemboyong) adalah orang-orang yang nantinya akan memboyong penari bodor. Namun sebelum itu, mereka akan ikut menari bersama penari bodor. Kemudian empat orang penari surak akan mengangkat penari bodor hingga semuanya ikut merapat untuk ikut memboyong. Penari bodor pun akan dilempar-lempar beberapa kali oleh penari surak.

3.    Penari Tabuh Waditra

Mereka adalah orang yang menari sambil menabuh alat-alat musik. Biasanya mereka terdiri dari empat orang dan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama akan menari sambil memainkan alat musik angklung dan dogdog. Sementara kelompok kedua akan menari sambil memainkan alat musik keprak awi dan kohkol.

4.    Penari Pemegang Obor

Mereka adalah orang yang akan menari sambil menyalakan obor. Mereka biasanya berjumlah dua orang. Nyala obor tersebut memiliki makna simbolisasi dari semangat perjuangan rakyat dalam usaha mencapai kemerdekaan pada zaman kolonial Belanda.

5.    Penari Umbul-Umbul

Penari umbul-umbul akan menari sesuai dengan kebutuhan acara. Jadi, mereka bisa saja tidak dibutuhkan dalam pertunjukan.

6.    Pemain Nayaga

Mereka adalah pemain alat musik yang tidak ikut menari. Biasanya mereka akan memainkan kendang, kempul dan tarompet sambil berdiri atau cukup duduk bersila. Lagu yang biasa mengiringi pertunjukan adalah lagu Asih Siliwangi.


Angklung, salah satu alat musik Surak Ibra
(Sumber : www.cintaindonesia.web.id) 

Perkembangan Kesenian Surak Ibra

Apakah kalian keturunan dari Raden Djajadiwangsa? Maka, kalian baru bisa menikmati kesenian ini. Eits, tapi itu dulu. Kesenian ini pada awalnya hanya untuk ditunjukkan pada kalangan keturunan beliau saja. Fungsinya sebagai tari upacara untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung. Tentu bukan tamu sembarang tamu, tapi orang gedean Belanda yang melakukan kunjungan ke sana.

Lama kelamaan, ekspansi kesenian ini berkembang hingga bisa dinikmati oleh orang-orang di dalam Desa Cinunuk. Hingga Surak Ibra bisa dinikmati hingga keluar wilayah Kecamatan Wanaraja.

Setelah kemerdekaan dikumandangkan, Surak Ibra mulai menjadi pertunjukan hiburan untuk berbagai kalangan. Pada kunjungan pejabat pemerintah semisal walikota dan jabatan lainnya, kesenian ini ditampilkan di depan mereka dengan durasi yang tidak begitu lama karena harus menyesuaikan dengan susunan acara.


Bupati Garut, Rudy Gunawan, diboyong para 
pemain Surak Ibra.
(Sumber : www.jelajahgarut.com)

Sementara pada acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, festival budaya dan hari besar umat Islam, kesenian ini memiliki durasi yang tidak terbatas. Lama atau tidaknya, tentu tergantung pihak yang mengundang para pemain dong. Tapi tentu tidak berlebihan juga, nanti malah para pemain bisa pingsan karena kelelahan semua.

Kesenian Surak Ibra kini diwarisi oleh Bapak Amo, sesepuh kharismatik yang dipercaya untuk memimpin pertunjukan. Namanya pun kini berubah menjadi Surak Ibra Dewasa. Oh iya, pada tahun 2000, kesenian ini pernah dimainkan di dalam Pesta Seni di ITB lho! Bagaimana tanggapan para penonton? Yap, mereka semua terpukau melihat betapa kolosalnya pertunjukan itu. Apalagi saat yang diboyong itu bukan penari bodor, tapi Patung Ganeca yang menjadi lambang ITB. Wah, luar biasa sekali.


Tata Cara Pertunjukan Surak Ibra

Pertunjukan ini hanya dilakukan oleh laki-laki, jadi bagi situ yang merasa perempuan, mending nonton saja ya! Karena untuk bisa ikut, kekuatan fisik menjadi salah satu faktor utamanya. Bila fisik tidak kuat, apalagi saat harus memboyong dan melempar-lempar penari bodor, hal yang tidak mengenakan bisa terjadi.

Pertunjukan dimulai dengan penari obor baris berbanjar sambil melakukan gerakan-gerakan silat. Setelah itu, penari surak beserta penari bodor yang memakai kostum silat (biasanya berwarna kuning dan merah), bergerak maju dan melakukan gerakan-gerakan tari. Eak-eakan mulai diteriakkan setelah tarian dilakukan dan alat musik pun mulai dikumandangkan. Semuanya dalam satu harmoni gerakan yang indah.

Setelah sorak sorai makin meriah, penari bodor mulai diboyong oleh empat penari surak ke tengah lingkaran yang sengaja dikosongkan. Penari surak sedikit demi sedikit mendekati lingkaran kosong itu hingga penuh. Penari bodor pun mulai dilempar-lempar, musik beserta sorak sorai dibuat makin meriah. Setelah selesai, mereka akan kembali ke formasi semula yang disebut dengan Helaran sambil tetap diiringi musik.


Makna Pertunjukan Surak Ibra

Karena kesenian ini tercipta pada masa penjajahan Belanda, Boboyongan tentu bukan diciptakan tanpa makna yang dalam. Melihat penciptanya adalah anak kiai dan dengan banyaknya jumlah orang yang melaksanakannya, kesenian ini bisa diartikan sebagai sebuah ekspresi bentuk kegotongroyongan, serta keinginan untuk mandiri (merdeka) dari penjajahan kolonial Belanda, yang sudah sewenang-wenang menindas kaum pribumi di tanahnya sendiri.

Bisa dibayangkan, petinggi kolonial saat itu tidak merasa kalau mereka sedang diolok-olok secara halus oleh para pemain Boboyongan. Itulah salah satu kecerdasan Raden Djajadiwangsa dalam mengakulturasikan budaya dan semangat perjuangan. Beliau tidak secara frontal melakukan perlawanan, tetapi secara simbolik.

Makna lainnya adalah agar menjadi pribadi yang tidak melupakan tanda jasa orang lain. Contohnya dengan memberi nama kesenian ini menjadi Surak Eson atau Surak Ibra, sebagai penghormatan bagi Bapak Eson dan Abah Ibra yang sudah berjasa bagi masyarakat.


Dogdog, salah satu alat musik Surak Ibra
(Sumber : artculture567.blogspot.com)


Eksistensi Kesenian Surak Ibra


Logo Kabupaten Garut
(Sumber : www.garutkab.go.id)

Aparat desa setempat terus berupaya melestarikan kesenian ini agar keberadaannya tidak menghilang. Pemerintah provinsi pun ikut turun tangan dengan memasukannya ke dalam agenda Balai Pengelolaan Taman Budaya Provinsi Jawa Barat.

Namun, bisa dikatakan kalau pelaku kesenian ini sudah langka dan eksistensinya hampir punah. Beberapa faktor yang melatarbelakanginya adalah arus globalisasi yang menyeret para pemuda untuk semakin menjauhi kebudayaan mereka sendiri. Itu berakibat sulitnya melakukan regenerasi pemain Surak Ibra. Apalagi dengan kenyataan bahwa para pewaris kesenian ini mulai memasuki masa senja, harapan Surak Ibra tetap bertahan semakin kecil.

Jangan sampai nasib Surak Ibra sama seperti Harimau Jawa, yang kini tinggal kenangan. Semoga negara ini tetap menjadi negara dengan beribu budaya lokal yang tetap lestari dan eksis, bukan hanya di mata Nusantara, tapi juga di mata dunia. Semoga, amin.



Kabupaten Bandung

Oktober 2019


Sumber dan referensi :








8.  https://cipakudarmaraja.blogspot.com/2017/07/ziarah-raden-wangsa-muhammad-pangeran.html?m=1

  • Share:

You Might Also Like

0 comments