Oleh : Agus Abdullah
Garut bukan hanya Kota Dodol atau Kota Chocodot,
bukan pula hanya kota para mojang sunda yang aduhai geulis-nya. Namun
Garut lebih dari itu. Kota Budaya, Kota Sejarah, Kota Kuliner (Indonesia tidak
mungkin lepas dari kuliner kan?), Kota Kenangan (ehem) juga kota yang layak
dijadikan destinasi wisata, baik dari dalam maupun luar Jawa Barat. Banyak
ragam kesenian yang menarik untuk dibahas dan diketahui banyak orang. Salah
satunya adalah kesenian Surak Ibra.
Sebagai sebuah kesenian yang unik, mungkin
tidak banyak orang yang mengetahui nama Surak Ibra. Jangankan orang luar Garut,
orang Garut sendiri juga belum tentu tahu apa itu Surak Ibra. Sebagai sebuah
kesenian khas Garut, Surak Ibra sangat menarik jika ditilik dari sejarah dan
praktiknya. Belum lagi makna yang terkandung di dalamnya.
Jadi, Surak Ibra itu bagaimana? Uniknya apa?
Mengapa terasa asing bagi masyarakat Sunda? Baiklah, kita mulai penjelajahan
ini. Jangan lupa pasang sabuk kenangan, eh pengaman dalam perjalanan mengenal
Surak Ibra lebih dekat.
Sejarah Terciptanya Surak Ibra
Pada tahun 1910, Raden Djajadiwangsa (yang
kelak akan menjadi pejuang kemerdekaan) menciptakan sebuah kesenian bernama Boyongan
atau Boboyongan. Beliau adalah putra dari seorang kiai bernama Raden
Wangsa Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Papak atau Sunan Papak.
Kampung Sindangsari yang terletak di Desa Cinunuk, Kecamatan Wanaraja adalah
titik awal mula kesenian ini diciptakan. Boboyongan sendiri memiliki
arti sindiran atau bayangan, namun bisa juga dimaknai sebagai nu
dialung-alungkeun atau yang dilempar-lemparkan.
Pertunjukan Surak Ibra
(Sumber : digarut.com)
Kesenian ini lalu dikembangkan oleh Bapak Eson,
seorang tokoh yang dihormati oleh masyarakat, sehingga namanya berubah menjadi Boboyongan
Eson atau Surak Eson. Surak sendiri bermakna bersorak atau mengungkapkan
kegembiraan dengan mengeluarkan sorak sorai, atau dalam istilah sundanya adalah
eak-eakan. Namun semenjak beliau meninggal, tak ada yang mau meneruskan,
sehingga kesenian ini mulai meredup. Tapi lama kelamaan, nama Surak Eson berganti
menjadi Surak Ibra.
Siapa itu Ibra? Nah, Ibra atau sering disebut Abah
Ibra merupakan seorang jawara silat yang kharismatik di Kampung Babakan Panjang,
desa setempat. Maka sebagai penghormatan untuk beliau karena sudah melestarikan
kesenian ini, masyarakat mengubah nama Surak Eson menjadi Surak Ibra.
Sebenarnya, pada tahun 1910, Kasepuhan Cinunuk
pernah membentuk Himpunan Dalem Emas (HDE) untuk melestarikan Surak Ibra. Namun
pada tahun 1948, HDE dibubarkan dengan pertimbangan bahwa kesenian ini sudah
menjadi milik negara, bukan hanya milik orang Garut saja.
Kesenian Surak Ibra Ada Dua?
Mungkin ini adalah informasi yang sangat
penting. Karena nama Surak Ibra tidak hanya berasal dari Kecamatan Wanaraja,
tapi juga dari kesenian yang sejenis di Kecamatan Cibatu, Garut. Yang
membedakannya, Surak Ibra Cibatu menggunakan unsur magis dalam pelaksanaannya.
Semisal menyediakan terlebih dahulu sesajen sehari sebelum acara dimulai.
Bahkan alas-alas yang akan dipakai pun harus diberi mantra terlebih dahulu.
Sehingga bisa dikatakan saat kesenian ini
berlangsung, beberapa pemain mengalami keadaan trance, lalu tidak
sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib. Sementara Surak Ibra Wanaraja tidak
menggunakan ritual semacam itu. Sehingga bisa dikatakan kalau Surak Ibra yang
ini, lebih menonjolkan sisi hiburan daripada hal-hal yang magis. Apalagi
mengingat latar belakang Raden Djajadiwangsa, sebagai anak kiai tentu beliau
tidak membenarkan hal-hal seperti ritual memanggil makhluk lain.
Perbedaan lain yang menonjol adalah tahun
kesenian itu dimulai. Surak Ibra versi Wanaraja dimulai pada tahun 1910,
sementara versi Cibatu dimulai pada tahun 1920.
Para Pemain Surak Ibra
Para Pemain Surak Ibra di Atas Panggung
(Sumber : digarut.com)
Pertunjukkan Surak Ibra versi Wanaraja ini bisa
dikatakan sebagai seni yang memadukan antara Reog dan Pencak Silat. Tidak hanya
alat musik dari Pencak Silat yang diambil, tapi juga gerakannya. Namun
gerakannya ditambah dengan sejumlah pengembangan. Dengan jumlah pemain yang
banyak, sekitar 30 sampai 100 orang lebih, kesenian ini menjadi sebuah
pertunjukkan kolosal dan harus dilaksanakan di tempat terbuka, sebuah lapangan
misalnya.
Pemain pertunjukkan ini dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu :
1. Penari Bodor
Dia adalah
sosok yang diangkat atau diboyong. Dia memiliki peran untuk ngabodor
atau melucu. Biasanya hanya terdiri dari satu orang. Ini menandakan bahwa
pemimpin itu hanya satu orang, yang diangkat dari dan oleh rakyat. Penari bodor
memiliki satu penari cadangan, yang tugasnya menggantikan penari bodor
utama jika dia tidak menari. Dia juga bertugas meramaikan suasana saat
pertunjukan.
2. Penari Surak
Mereka
biasa disebut pamunggu (pemboyong) adalah orang-orang yang nantinya akan
memboyong penari bodor. Namun sebelum itu, mereka akan ikut menari
bersama penari bodor. Kemudian empat orang penari surak akan
mengangkat penari bodor hingga semuanya ikut merapat untuk ikut memboyong.
Penari bodor pun akan dilempar-lempar beberapa kali oleh penari surak.
3. Penari Tabuh
Waditra
Mereka
adalah orang yang menari sambil menabuh alat-alat musik. Biasanya mereka terdiri
dari empat orang dan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama akan menari
sambil memainkan alat musik angklung dan dogdog. Sementara kelompok kedua akan
menari sambil memainkan alat musik keprak awi dan kohkol.
4. Penari Pemegang
Obor
Mereka
adalah orang yang akan menari sambil menyalakan obor. Mereka biasanya berjumlah
dua orang. Nyala obor tersebut memiliki makna simbolisasi dari semangat
perjuangan rakyat dalam usaha mencapai kemerdekaan pada zaman kolonial Belanda.
5. Penari Umbul-Umbul
Penari
umbul-umbul akan menari sesuai dengan kebutuhan acara. Jadi, mereka bisa saja
tidak dibutuhkan dalam pertunjukan.
6. Pemain Nayaga
Mereka adalah
pemain alat musik yang tidak ikut menari. Biasanya mereka akan memainkan
kendang, kempul dan tarompet sambil berdiri atau cukup duduk bersila. Lagu yang
biasa mengiringi pertunjukan adalah lagu Asih Siliwangi.
Angklung, salah satu alat musik Surak Ibra
(Sumber : www.cintaindonesia.web.id)
Perkembangan Kesenian Surak Ibra
Apakah kalian keturunan dari Raden
Djajadiwangsa? Maka, kalian baru bisa menikmati kesenian ini. Eits, tapi itu dulu.
Kesenian ini pada awalnya hanya untuk ditunjukkan pada kalangan keturunan
beliau saja. Fungsinya sebagai tari upacara untuk menyambut kedatangan tamu-tamu
agung. Tentu bukan tamu sembarang tamu, tapi orang gedean Belanda yang
melakukan kunjungan ke sana.
Lama kelamaan, ekspansi kesenian ini berkembang
hingga bisa dinikmati oleh orang-orang di dalam Desa Cinunuk. Hingga Surak Ibra
bisa dinikmati hingga keluar wilayah Kecamatan Wanaraja.
Setelah kemerdekaan dikumandangkan, Surak Ibra
mulai menjadi pertunjukan hiburan untuk berbagai kalangan. Pada kunjungan
pejabat pemerintah semisal walikota dan jabatan lainnya, kesenian ini ditampilkan
di depan mereka dengan durasi yang tidak begitu lama karena harus menyesuaikan
dengan susunan acara.
Bupati Garut, Rudy Gunawan, diboyong para
pemain Surak Ibra.
pemain Surak Ibra.
(Sumber : www.jelajahgarut.com)
Sementara pada acara Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Indonesia, festival budaya dan hari besar umat Islam, kesenian ini
memiliki durasi yang tidak terbatas. Lama atau tidaknya, tentu tergantung pihak
yang mengundang para pemain dong. Tapi tentu tidak berlebihan juga, nanti malah
para pemain bisa pingsan karena kelelahan semua.
Kesenian Surak Ibra kini diwarisi oleh Bapak
Amo, sesepuh kharismatik yang dipercaya untuk memimpin pertunjukan. Namanya pun
kini berubah menjadi Surak Ibra Dewasa. Oh iya, pada tahun 2000, kesenian ini
pernah dimainkan di dalam Pesta Seni di ITB lho! Bagaimana tanggapan para
penonton? Yap, mereka semua terpukau melihat betapa kolosalnya pertunjukan itu.
Apalagi saat yang diboyong itu bukan penari bodor, tapi Patung Ganeca yang
menjadi lambang ITB. Wah, luar biasa sekali.
Tata Cara Pertunjukan Surak Ibra
Pertunjukan ini hanya dilakukan oleh laki-laki,
jadi bagi situ yang merasa perempuan, mending nonton saja ya! Karena untuk bisa
ikut, kekuatan fisik menjadi salah satu faktor utamanya. Bila fisik tidak kuat,
apalagi saat harus memboyong dan melempar-lempar penari bodor, hal yang
tidak mengenakan bisa terjadi.
Pertunjukan dimulai dengan penari obor baris
berbanjar sambil melakukan gerakan-gerakan silat. Setelah itu, penari surak
beserta penari bodor yang memakai kostum silat (biasanya berwarna kuning
dan merah), bergerak maju dan melakukan gerakan-gerakan tari. Eak-eakan
mulai diteriakkan setelah tarian dilakukan dan alat musik pun mulai dikumandangkan.
Semuanya dalam satu harmoni gerakan yang indah.
Setelah sorak sorai makin meriah, penari bodor
mulai diboyong oleh empat penari surak ke tengah lingkaran yang sengaja
dikosongkan. Penari surak sedikit demi sedikit mendekati lingkaran kosong
itu hingga penuh. Penari bodor pun mulai dilempar-lempar, musik beserta
sorak sorai dibuat makin meriah. Setelah selesai, mereka akan kembali ke
formasi semula yang disebut dengan Helaran sambil tetap diiringi musik.
Makna Pertunjukan Surak Ibra
Karena kesenian ini tercipta pada masa
penjajahan Belanda, Boboyongan tentu bukan diciptakan tanpa makna yang
dalam. Melihat penciptanya adalah anak kiai dan dengan banyaknya jumlah orang
yang melaksanakannya, kesenian ini bisa diartikan sebagai sebuah ekspresi
bentuk kegotongroyongan, serta keinginan untuk mandiri (merdeka) dari
penjajahan kolonial Belanda, yang sudah sewenang-wenang menindas kaum pribumi
di tanahnya sendiri.
Bisa dibayangkan, petinggi kolonial saat itu
tidak merasa kalau mereka sedang diolok-olok secara halus oleh para pemain Boboyongan.
Itulah salah satu kecerdasan Raden Djajadiwangsa dalam mengakulturasikan budaya
dan semangat perjuangan. Beliau tidak secara frontal melakukan perlawanan,
tetapi secara simbolik.
Makna lainnya adalah agar menjadi pribadi yang
tidak melupakan tanda jasa orang lain. Contohnya dengan memberi nama kesenian
ini menjadi Surak Eson atau Surak Ibra, sebagai penghormatan bagi Bapak Eson
dan Abah Ibra yang sudah berjasa bagi masyarakat.
Dogdog, salah satu alat musik Surak Ibra
(Sumber : artculture567.blogspot.com)
Eksistensi Kesenian Surak Ibra
Logo Kabupaten Garut
(Sumber : www.garutkab.go.id)
Aparat desa setempat terus berupaya
melestarikan kesenian ini agar keberadaannya tidak menghilang. Pemerintah provinsi
pun ikut turun tangan dengan memasukannya ke dalam agenda Balai Pengelolaan
Taman Budaya Provinsi Jawa Barat.
Namun, bisa dikatakan kalau pelaku kesenian ini
sudah langka dan eksistensinya hampir punah. Beberapa faktor yang
melatarbelakanginya adalah arus globalisasi yang menyeret para pemuda untuk
semakin menjauhi kebudayaan mereka sendiri. Itu berakibat sulitnya melakukan
regenerasi pemain Surak Ibra. Apalagi dengan kenyataan bahwa para pewaris
kesenian ini mulai memasuki masa senja, harapan Surak Ibra tetap bertahan
semakin kecil.
Jangan sampai nasib Surak Ibra sama seperti
Harimau Jawa, yang kini tinggal kenangan. Semoga negara ini tetap menjadi
negara dengan beribu budaya lokal yang tetap lestari dan eksis, bukan hanya di
mata Nusantara, tapi juga di mata dunia. Semoga, amin.
Kabupaten Bandung
Oktober 2019
Sumber dan referensi :
8. https://cipakudarmaraja.blogspot.com/2017/07/ziarah-raden-wangsa-muhammad-pangeran.html?m=1
0 comments