BELENGGU ATAS JIWA MANUSIA (Resensi Novel Roman Belenggu)

By Abdullah Abus - 11:19 PM

Oleh :Abdullah Abus

Judul : Belenggu
Penulis : Armijn Pane
Cetakan : Keduapuluh satu, 2008
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta
Tebal : 150 halaman
ISBN : 979-523-046-8

Buku ini mempunyai sejarah yang menggemparkan. –Sinopsis
Sebagai pembaca awam karya-karya sastra modern Indonesia generasi awal, barang tentu saya selalu merasa kesulitan mengakrabi gaya tulisannya. Bukan karena apa, tetapi lebih kepada berbedanya ejaan yang digunakan, tak seperti karya-karya sekarang, sehingga membuat saya agak lambat membaca tiap bab. Walaupun begitu, saya tetap bisa menikmati tiap-tiap cerita yang penulis sajikan di dalam roman ini.

Roman ini bercerita tentang cinta dan makna kehidupan, yang diibaratkan sebagai belenggu. Bertutur tentang Sukartono yang berprofesi sebagai dokter yang baik hati dan tidak tamak, memiliki seorang istri terpelajar bernama Tini dan pembantu setia bernama Abdul. Rumah tangga mereka terbentuk atas dasar ambisi Tono (Sukartono) untuk bisa menundukkan Tini yang notabene sebagai bintang kampus. Seiring berjalannya waktu, Tini yang berpikiran modern menuntut agar emansipasi diberlakukan untuknya. Semisal boleh ke mana-mana sendirian, punya hak yang sama dengan laki-laki dan sebagainya. Padahal zaman itu, tabu sekali perempuan bertingkah seperti itu. Sehingga Tono merasa sedih karena rumah tangganya tidak harmonis lagi.

Hingga akhirnya Tono mendapat panggilan untuk mengobati pasien bernama Nyonya Eni, konflik pun dimulai. Tono melihat bahwa Nyonya Eni memiliki sifat layaknya istri sejati –berbanding terbalik dengan Tini- sehingga ia jatuh cinta padanya. Kejutan muncul ketika Nyonya Eni mengaku bernama Siti Rohayah, teman kecilnya Tono, yang hidupnya hampir habis karena kekecewaan masa lalu. Merekapun mulai berkasih-kasihan, hingga Tono memutuskan untuk menjadikan rumah Yah (Siti Rohayah) sebagai tempat peraduan kedua, karena hanya dengan bertemu dengan Yah, pikirannya bisa tenang. Berbeda dengan di rumah, pikirannya berputar-putar memikirkan banyak hal, termasuk sikap istrinya.

Sementara di lain pihak, Tini merasa bahwa apa yang Tono berikan makin hambar saja. Tidak seperti dulu, di awal pernikahan. Sehingga terbit rasa cemburu dan ingin diperhatikan seperti layaknya istri yang memiliki suami. Tapi apa mau dikata, Tini yang berego tinggi, menolak untuk bersikap layaknya istri yang pantas untuk mendapatkan perhatian suami. Itulah masalah yang terus membelit dirinya.

Ada beberapa tokoh cameo, yaitu Hartono dan Mangunsucipto. Har (Hartono) adalah teman kecil Tono dan kejutannya adalah ia mantan kekasih Tini (sungguh buku ini penuh kejutan). Sementara Mangunsucipto adalah paman Tini yang mencoba memediasi agar kedua belah pihak tidak bercerai. Cerita berakhir dengan ending tak terduga pula. Kondisi rumah tangga Tono dan Tini kembali harmonis, namun Tini harus pergi dan Yah meninggalkan Tono karena merasa tak enak dengan istrinya.

Konflik batin di roman ini sangat mendominasi cerita. Sering Tono dan Tini berjuang melepaskan belenggu yang mengungkung diri mereka, sehingga malah membuat pikiran mereka tak keruan.

…karena perasaan tidak percaya, maka orang suka menyiasat, maka ilmu pengetahuan lahir, Diapun insaf, sekali-sekali manusia itu akan merasa terbelenggu semangatnya dan pikirannya, tetapi hal itu hanya untuk sementara waktu saja, sebagai tempat perhentian sebelum sampai ke masa yang baru, ketika belenggu zaman dahulu terlepas sama sekali, matapun dapat memandang dengan leluasa ke zaman yang akan datang.” Hal. 148

Banyak endorsmen dari para sastrawan yang memuji kepiawaian bercerita Armijn dalam roman ini, namun ada pula yang mencelanya. Sehebat-hebatnya sebuah karya yang menuai pujian, tentu saja celaan akan datang. Namun celaan tersebut objektif, membuat insaf si penulis terus bersemangat untuk berkarya lebih baik lagi, bukannya marah dan berhenti menulis.

Saya pribadi menganggap bahwa suasana ke-Belanda-an dalam karya ini sangat kurang, namun suasana ke-Indonesia-annya sungguh memukau. Mungkinkah itu sebabnya Balai Pustaka menolaknya? Saya tak mau berasumsi.

Bandung, Juli 2014

  • Share:

You Might Also Like

0 comments