Penulis :
Armijn Pane
Cetakan :
Keduapuluh satu, 2008
Penerbit : Dian
Rakyat, Jakarta
Tebal : 150
halaman
ISBN :
979-523-046-8
Buku ini mempunyai sejarah yang menggemparkan. –Sinopsis
Sebagai pembaca
awam karya-karya sastra modern Indonesia generasi awal, barang tentu saya
selalu merasa kesulitan mengakrabi gaya tulisannya. Bukan karena apa, tetapi lebih
kepada berbedanya ejaan yang digunakan, tak seperti karya-karya sekarang,
sehingga membuat saya agak lambat membaca tiap bab. Walaupun begitu, saya tetap
bisa menikmati tiap-tiap cerita yang penulis sajikan di dalam roman ini.
Roman ini
bercerita tentang cinta dan makna kehidupan, yang diibaratkan sebagai belenggu.
Bertutur tentang Sukartono yang berprofesi sebagai dokter yang baik hati dan
tidak tamak, memiliki seorang istri terpelajar bernama Tini dan pembantu setia
bernama Abdul. Rumah tangga mereka terbentuk atas dasar ambisi Tono (Sukartono)
untuk bisa menundukkan Tini yang notabene sebagai bintang kampus. Seiring
berjalannya waktu, Tini yang berpikiran modern menuntut agar emansipasi
diberlakukan untuknya. Semisal boleh ke mana-mana sendirian, punya hak yang
sama dengan laki-laki dan sebagainya. Padahal zaman itu, tabu sekali perempuan
bertingkah seperti itu. Sehingga Tono merasa sedih karena rumah tangganya tidak
harmonis lagi.
Hingga akhirnya
Tono mendapat panggilan untuk mengobati pasien bernama Nyonya Eni, konflik pun dimulai.
Tono melihat bahwa Nyonya Eni memiliki sifat layaknya istri sejati –berbanding
terbalik dengan Tini- sehingga ia jatuh cinta padanya. Kejutan muncul ketika
Nyonya Eni mengaku bernama Siti Rohayah, teman kecilnya Tono, yang hidupnya
hampir habis karena kekecewaan masa lalu. Merekapun mulai berkasih-kasihan,
hingga Tono memutuskan untuk menjadikan rumah Yah (Siti Rohayah) sebagai tempat
peraduan kedua, karena hanya dengan bertemu dengan Yah, pikirannya bisa tenang.
Berbeda dengan di rumah, pikirannya berputar-putar memikirkan banyak hal,
termasuk sikap istrinya.
Sementara di
lain pihak, Tini merasa bahwa apa yang Tono berikan makin hambar saja. Tidak
seperti dulu, di awal pernikahan. Sehingga terbit rasa cemburu dan ingin
diperhatikan seperti layaknya istri yang memiliki suami. Tapi apa mau dikata,
Tini yang berego tinggi, menolak untuk bersikap layaknya istri yang pantas
untuk mendapatkan perhatian suami. Itulah masalah yang terus membelit dirinya.
Ada beberapa
tokoh cameo, yaitu Hartono dan
Mangunsucipto. Har (Hartono) adalah teman kecil Tono dan kejutannya adalah ia
mantan kekasih Tini (sungguh buku ini penuh kejutan). Sementara Mangunsucipto
adalah paman Tini yang mencoba memediasi agar kedua belah pihak tidak bercerai.
Cerita berakhir dengan ending tak
terduga pula. Kondisi rumah tangga Tono dan Tini kembali harmonis, namun Tini
harus pergi dan Yah meninggalkan Tono karena merasa tak enak dengan istrinya.
Konflik batin
di roman ini sangat mendominasi cerita. Sering Tono dan Tini berjuang
melepaskan belenggu yang mengungkung diri mereka, sehingga malah membuat pikiran
mereka tak keruan.
“…karena perasaan tidak percaya, maka orang
suka menyiasat, maka ilmu pengetahuan lahir, Diapun insaf, sekali-sekali
manusia itu akan merasa terbelenggu semangatnya dan pikirannya, tetapi hal itu
hanya untuk sementara waktu saja, sebagai tempat perhentian sebelum sampai ke
masa yang baru, ketika belenggu zaman dahulu terlepas sama sekali, matapun
dapat memandang dengan leluasa ke zaman yang akan datang.” Hal. 148
Banyak
endorsmen dari para sastrawan yang memuji kepiawaian bercerita Armijn dalam
roman ini, namun ada pula yang mencelanya. Sehebat-hebatnya sebuah karya yang menuai
pujian, tentu saja celaan akan datang. Namun celaan tersebut objektif, membuat
insaf si penulis terus bersemangat untuk berkarya lebih baik lagi, bukannya
marah dan berhenti menulis.
Saya pribadi menganggap
bahwa suasana ke-Belanda-an dalam karya ini sangat kurang, namun suasana
ke-Indonesia-annya sungguh memukau. Mungkinkah itu sebabnya Balai Pustaka
menolaknya? Saya tak mau berasumsi.
Bandung, Juli
2014
0 comments