Oleh: Abdullah Abus
Dulu ketika awal-awal saya hijrah (sekarang pun masih berproses), saya melihat sebuah buku yang judulnya sangat menarik perhatian. Buku terjemahan yang memantik pikiran, "Ini dia buku yang saya butuhkan."
Buku apa itu? Buku itu adalah buku tasawuf, salah satu karangan Imam Ibnu Athaillah. Isinya tentang bagaimana agar bisa takut kepada Allah dan yakin hanya kepada Allah. Di pikiran saya, buku ini akan membantu saya untuk semakin mendekat kepada Ar Rahman. Naif sekali kan?
Maka, saya beli dan saya baca dengan tawajjuh (tampaknya sih). Hasilnya? Saya tak mendapatkan apa yang saya inginkan. Apa karena bukunya tidak bagus? Jangan salah, bukunya sangat Masterpiece. Saya akui itu karena isinya sangat padat dan bergizi. Sayangnya, tidak diimbangi oleh wawasan dan pengalaman iman saya yang masih hijau muda (masih kuncup daun).
Saya tidak patah arang, saya cari buku sejenis. Hasilnya? Nol. Sekali lagi bukan karena bukunya jelek, hanya sayanya yang masih amat jelek. Memprihatinkan bukan?
Mempelajari buku-buku itu (sebenarnya itu hanya terjemahan dari kitab berbahasa Arab), tentu perlu bimbingan guru dan memiliki pengalaman iman. Dan tentu saja harus dipraktikan. Dan untuk bisa mempraktikannya perlu bimbingan seorang guru!
Dan tentu saja kalau sudah berhubungan dengan terjemahan cita rasa bahasa dan dzauq-nya akan berbeda. Apalagi ini bahasa Arab, yang satu kata saja bisa memilik banyak makna.
Jadi, salahkan membaca buku-buku agama? Tentu saja tidak, hanya saja, imbangi dengan belajar dengan guru. Diusahakan talaqqi, karena kalau sekadar daring (bahasa Indonesinya online), tentu akan mudah lupanya.
Salam.
26 April 2018
0 comments