Hanya ingin berbagi saja, biasanya saya nggak pernah buat artikel yang penuh data, hanya pengalaman pribadi atau pemikiran yang ingin dituangkan saja.
Pertama, kenapa judulnya warisan? Jujur, Afi bikin saya pengin nulis, jadi judulnya sama. Lol. Daripada buat status menghina atau apa, lebih baik produktif menulis sesuatu yang bermanfaat. Toh, pemikiran harusnya dibalas pemikiran. Bukan pemikiran dibalas otot atau makian dan cari kesalahan.
Oke, judulnya warisan, karena ini tentang pengalaman saya dengan agama saya sendiri. Bukan pengalaman spiritual, tapi intelektual.
Saya terlahir dari keluarga yang berlatar belakang NU, dari kecil mengaji dengan orang NU, teman-teman ya NU. Saya nggak tahu apa itu Persis, Muhammadiyah dll, saya pikir semuanya ya NU. Jadi, pemikiran NU saya didapat dari warisan orangtua saya.
Nah, seiring berjalannya waktu, datanglah negara api untuk menyerang. Eh, bukan, tapi aplikasi sosial media bernama Facebook. Dulu saya memakai FB hanya untuk iseng saja. Tidak pernah bikin status atau unggah foto. Lama kelamaan, saya melihat bahwa di FB ada pengajaran agama Islam, yang tidak saya dapatkan di pengajian umum.
Saya tekuni, bahkan akun ini sebenarnya hanya untuk menekan tombol like Fans Page Islami, untuk belajar Islam secara online. Ditambah saya sering diberi ebook dari teman. Maka, saya mulai bergeser dari ke-NU-an saya menuju ke-Salafi-an. Ya, saya pernah menekuni pemikiran Salafi. Menggugat amalan-amalan NU yang menurut saya salah.
Namun entah kenapa, waktu yang terus berjalan, membuat saya dipertemukan dengan orang-orang yang membuat saya kembali kepada NU. Singkat cerita, saya menekuni lagi, apa itu NU. Bagaimana pemikiran-pemikirannya. Sampai saya menyakini bahwa, saya nyaman dengan NU. Dan dengan berani mengatakan bahwa saya NU.
Kemarin-kemarin saya tidak berani mengaku sebagai NU. Ada rasa takut ini dan itu, dan ketika ada ribut-ribut soal Afi (ingat, saya gak peduli soal Afi, tapi kalau dia bikin saya produktif nulis, saya berterima kasih dengan dia, walaupun pemikiran kami tidak sama) saya mendapat pelajaran bahwa kita harus yakin dengan apa yang kita yakini dan harus mendeklarasikannya. Jangan hanya ikut-ikutan dan terbawa arus.
Saya tegaskan lagi, saya NU. Tapi bukan berarti yang bukan NU saya anggap bukan saudara. Semuanya saudara satu Islam. Yang bukan saudara hanya monyet. Karena memang monyet bukan saudara saya. Lol.
Dan saya tegaskan, bahwa ke-NU-an saya bukan warisan lagi. Tapi sudah menjadi keyakinan di hati.
Ya seperti kata beberapa orang-orang NU sih: Semua akan NU pada waktunya. Lol.
Hanupis.