Oleh: Abdullah Abus
Kematian, mungkin kata itu menakutkan, perenggut kebahagiaan hidup dan pemutus segala amal perbuatan di dunia. Tapi, pasti bohong kalau kita tidak memikirkannya sama sekali. Pasti terpikirkan, bagaimana cara kita mati dan yakinkah kita dalam keadaan Islam atau tidak saat malakul maut menjemput.
Saya secara jujur memikirkannya, saat bengong, saat naik motor, saat naik buku, tapi tidak saat mandi. Bagaimana cara saya mati? Kadang terpikirkan saat mengendarai motor, mati tertabrak. Tapi pasti rasanya sakit sekali, belum lagi darah berceceran di mana-mana. Saya benci lihat darah, membicarakannya saja sudah membuat merinding. Please stop that!
Atau jatuh dari gedung? Didorong seseorang dari gedung lantai 100 misalnya. Tapi tentu rasanya akan sakit juga, malah bakal merasakan dengan khuysuk detik-detik kematian. Melihat bumi makin dekat dan semakin dekat dan brak, kita mati dengan darah berceceran. Ah, tidak mau.
Atau mati tertembak? Tidak mau juga, tentunya sangat sakit. Merasakan panasnya peluru menembus badan, atau malah peluru itu terus bercokol di badan. Ah, sangat menyakitkan. Tak mau saya. Kalau ditembak di kepala? Entahlah, tidak ada yang bisa menceritakan pengalamannya, apakah merasa sakit atau tidak.
Mati terkena bom atau rudal? Badan saya nanti tercecer kemana-mana, saya ingin jasad saya utuh. Atau terkena reruntuhan? Nanti saya gepeng. Tidak mau.
Mati karena sakit? Itu juga menyakitkan. Malah secara perlahan-lahan, dipermainkan oleh maut. Tidak, itu sakit sekali. Bayangkan saya, merasakan sakit selama lima tahun dan ternyata sembuh, tidak jadi mati. Bukankah itu konyol? Sangat konyol. Memang itu anugerah, tapi bagi yang ingin mati tentu hal itu menyusahkan.
Dihukum pancung dengan cara Guillotine? Katanya hanya merasakan empat detik rasa sakit, karena seketika kepala kita lepas dan syaraf sakitnya tidak merespon secara baik. Tapi, masih ada rasa sakit. Disembelih dengan cara ISIS? Ah, tidak. Seperti disembelih laiknya ayam saja. Tidak. Dan pasti sangat-sangat menyakitkan. Uh, darah lagi, darah lagi.
Lalu harus bagaimana? Sepertinya memang tidak bisa mengelakan rasa sakit. Contohnya saja Nabi Muhammad saw, ketika akan dicabut nyawanya, beliau merasakan sakit yang tak terperi. Bahkan berharap hanya beliau yang merasakan sakit itu. Beliau yang disayangi oleh Allah dan seluruh makhluk ciptaan-Nya saja merasakan sakit. Apalagi saya, yang belum tentu disayangi oleh apapun. Proses kematian itu bisa dibaca di dalam Alquran ataupun hadis.
Lebih baik beristigfar saja dan berdoa semoga kematian yang menjemput adalah husnul khatimah bagaimanapun keadaannya. Amin.
0 comments