Kegelisahan Itu Tak Abadi (Resensi Novel Masihkah Senyum Itu Untukku?)
By Abdullah Abus - 1:03 AM
Oleh : Abdullah Abus
Judul : Masihkah Senyum Itu Untukku?
Penulis : Hendra Purnama
Cetakan : Pertama, 2016
Penerbit : BITREAD Digital Books
Tebal : iv + 160 halaman
Penulis : Hendra Purnama
Cetakan : Pertama, 2016
Penerbit : BITREAD Digital Books
Tebal : iv + 160 halaman
Kegelisahan, itu yang pertama kali saya tangkap dari bab pertama pada novel ini. Itu pula yang saya dapati di novel beliau yang lain, SUWUNG (sebelum direvisi). Sedikit mengetahui latar belakang penulis, jadi bisa memahami kenapa bab pertama ada pembahasan tentang 'itu'.
Novel ini adalah novel lama yang direvisi setelah terendap sepuluh tahun, semacam reborn. Sejarah novel ini, pernah diterbitkan oleh sebuah penerbit, dan hebatnya, novel ini terbit hanya dalam rentang waktu setahun dalam pengembaraan penulis dalam dunia literasi. Tentu pantas diacungi jempol dan diberikan jabatan tangan yang erat, karena rata-rata, jangankan setahun, lima tahun pun belum tentu seorang penulis bisa menerbitkan karyanya.
Melalui novel ini, saya disuguhkan narasi yang indah (seperti biasanya) dan minim dialog, namun tetap mengena dan tidak mengurangi kekhusyuan pembaca. Tentu ada kalimat-kalimat yang harus ditafsirkan sendiri, tapi itu tidak masalah.
Memakai sudut pandang pertama dan ketiga, penulis mencoba menjadi tiga orang yang berbeda: Indra, Zaki dan si yang "Mahatahu". Itu salah satu hal yang menambah menarik ceritanya, saya baru menemukan hal yang serupa di sebuah novel lain. Puisi yang ditempatkan secara rapi (tidak janggal) membuat saya makin menyukainya.
Melalui novel ini, ada beberapa benang halus yang saya tangkap lalu disambungkan ke novel SUWUNG. Walaupun ada beberapa hal yang kontradiktif dengan cerita SUWUNG, tapi mungkin dengan revisi atas novel tersebut bisa membuat keganjilan saya tergenapkan. Bahkan saya sampai pada titik kaget, ternyata novel SUWUNG merupakan kelanjutan dari novel ini. Dan akhirnya tebakan saya benar di novel SUWUNG bahwa kampusnya adalah UPI.
Ada permohonan maaf di kata pengantar bahwa novel ini tidak "luas" seperti tulisan penulis yang lain, dan tentu bisa dimaklumi karena dulu penulis sedang dalam proses belajar dan bacaan pun belum sebanyak sekarang. Secara garis besar, novel ini "FLP banget", berbeda dengan SUWUNG yang rasanya sudah menemukan jati diri kepenulisannya. Saya tidak tahu bagaimana prototype novel ini pada tahun 2005, jadi saya tidak bisa membandingkannya satu sama lain.
Sekadar info, novel ini adalah buku pertama dari Dwilogi Kesunyian dan buku kedua adalah Senyum Sunyi Airin, revisi novel SUWUNG, sebuah novel yang berhasil merangsek ke posisi sepuluh besar lomba novel Republika.
Novel ini adalah novel tentang cinta, namun apakah cinta itu bisa menyatukan dua hati? Apakah kegamangan saat bercintanya dua hati merupakan cinta juga? Indra dan Zaki akan membahasnya di sini, alur cerita yang sederhana namun kuat tidak akan membuat pembaca awam kesulitan. Tahun cerita tidak diubah kekinian, makanya tidak ada fasilitas modern atau semacamnya saat kedua tokoh merasa rindu.
Terakhir, kover depan novelnya menarik. Merepresentasikan sebuah kesunyian. Di taman bunga yang luas, berdiri berdampingan dua buah pohon yang dibatasi entah apa (mungkin tugu?). Bagaikan dua jiwa yang kesepian namun tak bisa menyatu karena dibatasi oleh hal kecil yang sebenarnua sepele, namun sulit untuk dilewati karena kokohnya akar yang menancap ke bumi.
Ah ya, paling akhir, ada kalimat yang saya sukai :
"Aku takut Nisa bisa menarik perhatianmu, aku takut sekali. Setengah berlari, Zaki menuju ke arah pintu. Sebelum keluar, dia melirik sekali lagi. Tapi aku lebih takut kalau kamulah yang justru menarik hati Nisa. Aku tidak pernah bisa bersaing dengannya..."