Selayang Pandang Sanad Ilmu

By Abdullah Abus - 6:31 AM

Oleh : Abdullah Abus

Bismillah

Tulisan ini hanya pemikiran biasa, tidak usah dibesar-besarkan. Lol.

Saya merenungi akan pentingnya sanad ilmu dalam agama. Kenapa perlu sanad ilmu? Memangnya buat apa? Bukankah tinggal beli buku, buka internet lalu ilmu didapatkan?
Kalau ilmu hanya dianggap perkara sederhana, tentu tidak akan ada ulama yang mumpuni, apatah lagi salafush shalih yang tidak bisa diragukan lagi keilmuannya. Namun apakah hanya sekadar ilmu? Membaca kitab, menghafalnya lalu selesai perkara? Menurut saya, itu tidak benar. Bukan karena tidak penting, hanya kurang tepat.

Ilustrasi pentingnya sanad ilmu itu seperti ini: Si Saleh belajar pada Ustaz Hanif, lalu Ustaz Hanif belajar pada Kiai Ridho, nah Kiai Ridho belajar pada Syekh Taat, Syekh Taat belajar pada Syekh Ikhlas yang berasal dari negeri Arab, Syekh Ikhlas belajar pada Syekh Karim dari gurunya yang belajar pada gurunya lagi. Terus dan terus maka sambunglah kepada Tabi'ut Tabi'in dan sambung pada Tabi'in dan sambung pada sahabat Nabi r.hum dan sambung pada Rasulullah saw.
Tidak hanya itu, kita bisa tahu bagaimana amalan ulama sebelumnya melalui guru kita, guru kita tahu amalan orang saleh pada zamannya dan seterusnya. Artinya, pengalamannya tentu banyak. 

Tidak perlu pakai mesin waktu, cukup duduk manis dan tawajjuh pada guru. Banyak yang didapat. Maka, kita bisa juga belajar kondisi umat pada zaman tertentu. Dan itu secara langsung kita dapatkan, bukan menurut buku atau internet yang simpang siur memberitakan sebuah kondisi karena itu adalah masa lalu yang tak mungkin bisa diputar kembali.

Biasanya semakin bijaklah orang tersebut dan tidak akan meremehkan keilmuan orang lain, walaupun berbeda dalam masalah cabang (furu'). Namun jangan lupa, adab kepada ilmu dan ahli ilmu harus dijaga juga. Di kitab Ta'lim Muta'alim ada bab tersebut. Bisa dibaca di sana, kalau bisa pakai guru.

Lalu dari mana adab-adab tersebut didapat? Tentunya dari gurunya, gurunya dapat dari siapa? Gurunya lagi. Jadi sekali belajar maka akhlak, pemikiran dan pendapat banyak guru didapat. Itupun didapat karena berguru secara langsung atau talaqqi. Berkahnya dapat, pemahamannya dapat.

Bahkan, ketika seorang guru berbicara, itu adalah aplikasi dari dalil-dalil yang bikin kepala pusing. Makanya, mereka tak perlu mengatakan bahwa dalilnya ini lalu begini aplikasinya. Tidak. Mereka langsung mengamalkannya. Itu lebih enak terasa, mudah diaplikasikan.

Dan tradisi sanad ilmu pun saya dapati di dalam empat mazhab. Ulama-ulama di dalam mazhab itu lebih terjaga sanadnya karena satu ulama mazhab belajar kepada ulama lain yang satu mazhab dan ulama tersebut belajar pada gurunya yang ulama yang bermazhab dan berterusan sampai ke A-immah Al Arba'ah (Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad rah.him). 

Dan kita pun tahu sanad empat Imam itu bermuara kepada para sahabat r.hum. Maka dari itu, mengapa ulama-ulama dulu bermazhab, karena untuk menjaga sanad ilmu agama. Mereka paham ilmu agama bukan main-main, mereka adalah orang-orang yang berhati-hati.

Maka bisa saya katakan, ketika Imam Nawawi Al Bantani membuat syarah kitab Safinah, saya sudah percaya isinya tidak menyesatkan walaupun sumber dalil-dalil tersebut tidak dituliskan. Dan Imam Nawawi bermazhab Syafi'iyyah. Tak perlu diulang lagi kenapa saya bisa percaya. Dan hal lainnya adalah, ulama-ulama dulu lebih terjaga baik kebersihan hati, adab dan ilmu. Sudah cukup bagi saya. Kalaupun adalah salah, apakah sama dengan keadaan kita saat melakukan kesalahan? Ulama dulu kan benar-benar menjaga diri dari perkara syubhat.

Maka, ayo kita belajar pada ulama yang memiliki sanad ilmu yang sambung kepada Rasulullah saw, jangan belajar sendiri. Apalagi pakai terjemahan. Nanti malah sesat ketika kita berfatwa sembrono karena kesoktahuan kita. Kalau mau, pakailah perkataan ulama di dalam dalil tersebut. Dan pakailah sendiri dulu dalilnya, kalau sudah teraplikasikan, bagilah pengalaman kita kepada orang lain.

Pengalaman mengamalkan ilmunya, bukan mensyarahkan dalilnya. Cari aman saja.
Kok susah amat sih keilmuan dalam Islam? Lha, kata siapa gampang. Makanya tidak semua harus menjadi ulama. Dan sudah kodratnya ulama itu sedikit dibandingkan muqallid (atau muttabi' bagi yang tidak mau disebut muqallid).

Kalau tidak bisa membersamai ulama yang sanad ilmunya sampai ke Rasulullah saw? Minimal mencintainya dan berdoa semoga keturunan kita dijadikan seperti mereka. Mungkin saja dari anak atau cucu atau cicit kita menjadi seperti mereka. Atau ikuti kajiannya saja, baik itu melalui majelis ilmu yang dipimpin oleh ulama tersebut atau saya sarankan tonton saja di situs youtube. Walaupun memang kurang afdal, tapi setidaknya kita tidak tersesat ke jalan yang bengkok.

Maaf bila ada salah-salah kata. Ini hanya pemikiran saya yang sempit, semoga tidak menyesatkan orang lain.
Wallahu a'lam.

Bandung, Kamis 7 Juli 2016

  • Share:

You Might Also Like

0 comments