Apakah mengaji informasi di internet sama dengan mendapat ilmu laduni?
By Abdullah Abus - 9:07 PM
Oleh: Abdullah Abus
Bismillah
Ah, saat mencoba rehat setelah seharian beraktivitas, saya berharap mendapatkan cukup jatah istirahat saat mengikuti kajian malam ini. Ternyata tidak bisa. Setelah acara, otak saya berputar terus, banyak kekata yang membuncah ingin dituliskan. Maka, dituliskanlah.
Harus diakui, baru kali ini saya mengikuti kajian yang materinya sama persis dengan konten yang ada di media sosial. Tentu saya tahu risikonya, apa isi kajiannya saat tahu sang penceramah. Tapi ternyata, saya tidak menyangka bahwa materinya bakal seperti itu. Benar-benar 'berkembang' dari pertama saya mengikuti kajiannya.
Ya setidaknya, dari kajiannya, beberapa kabar baik dan buruk sudah saya ketahui sebelum ikut kajian bersama beliau kali pertama. Dan saya merasa, itu bukan konsumsi khalayak umum. Jadi saya rahasiakan saja. Tapi, saya tidak menyangka bahwa materinya bakal di luar ekspektasi. Dulu pertama kali mengikuti kajian beliau, saya masih bisa leyeh-leyeh. Tak sampai rasanya ingin menulis seperti ini. Tapi kali ini berbeda. Mungkinkah ini pertanda saya mulai cinta dengan menulis? Oh tidak, saya hanya suka mengoceh.
Ada beberapa hal yang jadi konsentrasi saya. Pertama, lagi dan lagi dihikayatkan sebuah negara yang sedang berkonflik (yang sebenarnya negara itu sedang menuju status mendingan alias Suriah), agar kembali 'ramai lagi' oleh seruan untuk menghantamnya. Bukan dari dalam negeri mereka, tapi negeri saya. Saya jadi teringat, bahwa hal seperti itu akan terus digaungkan, sampai tak ada lagi ketenangan barang sesaat. Saya jadi teringat sebuah analisis, tapi saya lupa siapa yang berbicara, dan ternyata kenyataannya memang seperti ini. Karena lupa, saya tidak bisa memberi tahu siapa orangnya. Maaf.
Kedua, kajiannya tidak membuat saya bertambah atsar iman dengan signifikan. Mungkin sebabnya banyak, iman saya yang lemah atau saya memang buruk rupa. Tapi entah mengapa, dengan pembahasan yang tidak 'wuah wow' malah menambah atsar iman, ceramah Aa Gym misalnya. Bukan menjelek-jelekkan atau sombong, tapi memang kebutuhan saya ketika datang kajian ya itu, menambah keimanan dan ketakwaan. Saya membutuhkan how to, bukan eat this without question.
Atau barangkali saya terlalu kolot? Sehingga kepala saya mengepulkan asap? Jujur saja, saya bisa mengakses materi yang disampaikannya dengan membuka google. Saya tak perlu mendengarkan penjelasannya. Mungkinkah itu yang membuat saya merasa kering? Tak tahu juga sih. Yang ada saya hanya dipinta untuk membenci ini itu. Mungkinkah saya kehilangan ghirah agama? Lha, saya tidak tahu.
Ketiga, terlalu banyak penyampaian video dibandingkan menderas sebuah kitab lalu dijelaskan sedikit demi sedikit. Judulnya bagus, sesuai dengan yang dipinta panitia. Tapi, maaf, materinya saya tidak sreg (ayolah, kosakata Syiah, Zionis dan Komunis kan sudah berseliweran di media sosal, tak perlu dipaparkan lagi). Ah, malah membuat hati terganggu dan terguncang.
Mungkinkah setan banyak sekali di dalam diri saya? Ataukah materinya hanya sekadar menyampaikan informasi? Bukan menyampaikan 'makanan berat'? Saya berharap lebih, namun sekali lagi, ekspektasi berada di awang-awang. Kenyataan tak bisa dihindari.
Keempat, beberapa hal yang perlu diperiksa terlebih dahulu atau tabayyun, langsung diutarakan dengan lantang. Ayolah, potongan video atau tulisan tanpa sumber rujukan bukankah perlu dikaji lebih dalam? Saya tidak mempermasalahkan saat diceritakan seorang oknum kiai yang ceramah di tempat yang ngaco, saya juga tidak setuju dengan oknum itu.
Tapi, sekali lagi, ada beberapa hal yang seharusnya dikaji terlebih dahulu. Ada beberapa hal yang sudah diklarifikasi oleh pihak yang bersangkutan, tapi tidak beliau sertakan. Mungkin saja beliau belum tahu, jadi mohon diingatkan pada beliau bagi yang tahu.
Mungkinkah saya tidak suka materinya? Atau malah ustaznya? Lebih tepatnya, materinya sih. Bukankah mengkaji Al Hikam walau hanya satu buah mutiaranya cukup untuk dua jam? Dan bahasanya agak berat untuk bapak-ibu yang sudah sepuh. Saya bisa melihat bahwa mereka tidak begitu peduli dengan hampir semua materi. Terlihat roman kebosanan di wajahnya. Apakah karena tak ada humor? Mungkin yang tua memang butuh tawa. Yang muda butuh bara.
Membedakan yang benar dan salah saat ini seakan percuma. Semua terlihat benar, tak ada yang salah. Dan semuanya sulit dibedakan. Apalagi ditambah banyak kabut yang menghalangi pandangan. Jadi saya tidak tahu, mana yang benar-benar benar, mana yang benar-benar salah. Zaman sekarang adalah bara api. Dipegang panas, tapi kalau tidak didekati kedinginan.
Ah, bagi saya, di zaman seperti ini, diam adalah emas. Bila tahu dengan sebenar-benarnya, baru berbicara. Namun bila hanya sekadar tahu, apalagi sekadar lihat, wah, lebih aman diam. Tentu diamnya bukan berarti ambil selimut lalu merebahkan badan di kasur kemudian ngorok.
21 Agustus 2017