Sebuah
Karya Sastra Dalam Jiwa
Ketika
ditanyakan tentang karya sastra (dahulu kala ketika saya masih jahil tentang
apapun), tentu saya tidak tahu. Karena yang saya tahu hanya buku pelajaran,
buku tulis dan novel Harry Potter dan Sherlock Holmes. Karya sastra adalah
sesuatu yang baru bagi saya. Mungkin dulu pernah diajarkan guru di sekolah
walaupun jujur saja, saya tidak bisa lagi ingat pelajaran di sekolah dulu.
Terlalu banyak penumpukan dalam otak saya, dipadu dengan kepolosan yang sangat kentara, mampus sudah saya. Jangankan menulis, membaca saja malas. Mending main ke warnet, buka friendster (belum zaman facebook apalagi twitter) atau download video konser Muse, Avenged Sevenfold, Bullet For My Valentine, L'Arc en Ciel dan banyak musik2 lainnya. Atau bermain PS 1-2 dan Counter Strike di tempat game online.
Terlalu banyak penumpukan dalam otak saya, dipadu dengan kepolosan yang sangat kentara, mampus sudah saya. Jangankan menulis, membaca saja malas. Mending main ke warnet, buka friendster (belum zaman facebook apalagi twitter) atau download video konser Muse, Avenged Sevenfold, Bullet For My Valentine, L'Arc en Ciel dan banyak musik2 lainnya. Atau bermain PS 1-2 dan Counter Strike di tempat game online.
Karya
sastra, kini memiliki arti tersendiri dalam hidup saya. Saya penikmat sastra?
Iya, tapi tak ingin sampai di situ saja. Saya ingin jadi pemainnya pula!
Semisal, nonton Persib terus tapi gak pernah main di lapangan (dan memang saya
gak bisa main bola), seperti sayur tanpa garam (Royco itu kebanyakan MSG-nya,
tapi da enak kan). Maka, saya memutuskan ingin menjadi seorang penulis (seorang
da'i adalah cita-cita utama pula). Panggillah saya dengan sebutan Kang Penulis
atau Kang Ustat (Usaha Taat- menyitir ucapan Salman al Jugjawy alias Sakti eks
SO7).
Sebuah
karya sastra, tentu membuat butek otak
saya yang memang jarang baca cerita dengan kemahiran tingkat tinggi seperti
itu. Saya terlalu sering mengerutkan dahi saat membacanya. Mencoba mencari
maknanya dengan wawasan saya yang rasanya sebutir debu pun tak ada. Akhirnya,
melalui beberapa sahabat di komunitas literasi, saya bisa mengenalnya (karya
sastra benaran)! Mengenal, tapi belum bisa mendalami.
Apatah membuat, mustahil lah (apakah ini terlalu pesimis?).
Apatah membuat, mustahil lah (apakah ini terlalu pesimis?).
Tapi,
saya sering merenung, semenjak saya berkecimpung dalam dunia sastra,
pengembangan diri ini sungguh meningkat drastis! Sehingga, saya mengatakan pada
seorang teman bahwa, "Buku motivasi saya adalah buku sastra!"
Saya menemukan dunia yang rasanya sreg di hati. Menjajal dunia musik di usia muda, gagal total lah saya. Tentu saja saya hanya menjadi penikmat musik (malah untuk saat ini, saya jarang sekali dengar musik). Tapi begitu berhadapan dengan karya sastra, saya luluh. Menangis tersedu-sedu dan mengucap "Hamdan wa syukran Lillah!"
Saya menemukan dunia yang rasanya sreg di hati. Menjajal dunia musik di usia muda, gagal total lah saya. Tentu saja saya hanya menjadi penikmat musik (malah untuk saat ini, saya jarang sekali dengar musik). Tapi begitu berhadapan dengan karya sastra, saya luluh. Menangis tersedu-sedu dan mengucap "Hamdan wa syukran Lillah!"
Sebuah
karya sastra, menurut saya, membuat saya menjadi lebih kritis, kreatif dan
cerdas. Itu adalah pengalaman yang saya dapatkan, entahlah bagi kekawan yang
lain.
Dari
karya sastra, saya mendapati Pak Putu Wijaya dan Pak (Alm.) Kuntowijoyo menjadi
kiblat saya dalam tiap karya. Kok sastrawannya dalam negeri semua? Ingatlah
semboyan: Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia! Haha! Ah, tentu saja saya baca
karya sastra Impor juga. Tak hanya dalam negeri. Lagian, sastrawan dunia belum
nemu yang pas.
Milad
ke-xx Saya
Beberapa
saat yang lalu, saya bermilad umur ke-xx. Terasa sudah tua, tapi otak masih
kosong melompong (ups, negative
sentence, ralat; wawasannya masih kurang). Ah, kedewasaan ditentukan oleh
pengalaman, ilmu, wawasan dan pemahaman yang ia miliki, bukan umur. Melalui
komunitas literasi, saya tumbuh. Tentunya pengalaman organisasi saya buruk,
hanya pernah ikut2an TARKA (Taruna Karya/Karang Taruna), yang itupun terkadang
ada atau tiada. Tapi, maafi
musykil, toh saya tetap ada di komunitas itu, gak hancur (apanya yang
hancur?)
Milad
ini menjadi perenungan panjang, apatah tahun ini. Sungguh mengharukan. Tentu
mengharukan dalam suka dan duka. Pertemuan dan perpisahan berpadu menjelma
kenangan yang terasa bagaikan hembusan angin di zaman yang menuntut segala
sesuatu harus instan.
Melalui
karya sastra, saya tumbuh. Tujuan pertama adalah menjadi manusia setengah dewa
alias wawasannya di atas orang rata-rata dengan cara memperbanyak membaca dan
mengalami suatu peristiwa atau hal2 yang baru. Bahkan cerita ihwal kisah hidup
Ibrahim Datuk Tan Malaka pun saya baca. Saya terharu dengan perjuangan beliau
yang harus tersungkur oleh negeri yang ia cintai.
Nah, itu bisa menjadi wawasan baru bagi saya atau bagi siapapun yang mau membacanya. Saya membaca apapun (tentu saja dalam koridor menelaah dan tak membaca sesuatu yang membikin saya keder waktu baca) dengan terburu-buru, karena rasanya mengejar ketertinggalan saya dalam banyak hal membuat saya masih menangis tersedu.
Yap, saya pun ingin mengembangkan sastra profetik sesuai dengan gaya dan idealisme saya di dalam karya. Mungkin bisa tergolong surealis karena saya suka ranah itu, tapi realis pun saya coba jajal. Yang penting, tetap profetik. Terinspirasi oleh Pak Putu Wijaya dan Pak (Alm.) Kuntowijoyo dalam karya saya, maka saya mencoba meramunya sesuai dengan kemampuan saya. Semoga novel atau cerpen-cerpennya cepat jadi.
Nah, itu bisa menjadi wawasan baru bagi saya atau bagi siapapun yang mau membacanya. Saya membaca apapun (tentu saja dalam koridor menelaah dan tak membaca sesuatu yang membikin saya keder waktu baca) dengan terburu-buru, karena rasanya mengejar ketertinggalan saya dalam banyak hal membuat saya masih menangis tersedu.
Yap, saya pun ingin mengembangkan sastra profetik sesuai dengan gaya dan idealisme saya di dalam karya. Mungkin bisa tergolong surealis karena saya suka ranah itu, tapi realis pun saya coba jajal. Yang penting, tetap profetik. Terinspirasi oleh Pak Putu Wijaya dan Pak (Alm.) Kuntowijoyo dalam karya saya, maka saya mencoba meramunya sesuai dengan kemampuan saya. Semoga novel atau cerpen-cerpennya cepat jadi.
Sedikit
tambahan, mungkin saya mulai suka pula dengan And The Mountains Echoed karya
Khaled Hosseini yang saya rasa beliau pandai mendongeng. Ah, siapapun itu yang
penting karya saya membawa kebaikan dalam hidup saya dan orang lain.
Mohon
doa restunya!
Oh, iya,
selamat ulang tahun untuk diri saya!
Di
warnet dan buru2 pula nulisnya, takut waktunya keburu habis
Bandung,
24 Agustus 2013