Oleh : Abdullah Abus
Judul : Senyum Sunyi Airin
Penulis : Hendra Purnama dan Ris Maya
Cetakan : Pertama, 2016
Penerbit : BITREAD Digital Books
Tebal : iv + 350 halaman
Penulis : Hendra Purnama dan Ris Maya
Cetakan : Pertama, 2016
Penerbit : BITREAD Digital Books
Tebal : iv + 350 halaman
Ada gurat kecewa, ada juga gurat puas. Mungkin itu yang saya rasa ketika membaca Dwilogi Kesunyian: Senyum Sunyi Airin (klik untuk baca resensinya). Buku ini terasa berbeda dengan buku pertama, Masihkah Senyum Itu Untukku, karena emosi karakter lebih terasa renyah di sini. Lebih karena penulis sudah lebih mantap di dalam dunia menulis, karena jarak antara buku pertama dengan kedua terpaut cukup jauh. Dulu, buku ini berjudul SUWUNG, juara delapan lomba menulis di Republika. Sangat membanggakan! Akan tetapi karena kontrak naskahnya sudah berakhir, kini diterbitkan lagi oleh Penerbit Bitread.
Cerita di buku ini masih sama seperti SUWUNG, hanya saja ada bagian yang dipangkas (habis mungkin) sehingga membuat saya merasa kikuk ketika membacanya. Tentu bukan kekikukan yang kentara, tapi saya merasa kehilangan bait-bait kata yang syahdu di hati. Bagian itu disingkat dengan sesingkat-singkatnya. Tapi, itu bukan masalah. Selagi masih enak dibaca dan memuaskan dahaga, tentu tak perlu dipermasalahkan lagi bukan.
Novel ini bercerita tentang Indra Pratama; seorang pemuda yang sedang “kesakitan hatinya”, Airin; seorang psikolog yang sedang “naik tangga”, Sulisati; pribadi yang “sehalus sutra”, Zaki; seorang pendiam yang “tak teraba”, dan Irwan; seorang pemuda yang baru saja “mati”. Novel ini adalah sambungan dari novel sebelumnya, Masihkah Senyum Itu Untukku (jadi dimohon untuk membeli buku pertamanya agar tidak bingung). Kita mendapati tokoh lama (minus Nisa) dan dua tokoh baru; Airin dan Sulisati. Tokoh-tokoh di dalam novel ini memiliki depresi yang berbeda-beda (terkadang membuat pembaca ikut depresi).
Alurnya maju, lebih banyak narasi (tapi sungguh tidak membosankan! Entah kenapa). Dan ketika berdialog, kita merasa enak membacanya. Mungkin karena penulis memang sudah pandai meramu kata (penulisnya tentu tidak mau dipuji berlebihan) dan melihat karakter penulisnya yang “biasa saja” (dalam tanda petik tentunya) maka jangan heran saat membaca karyanya yang lain. Saya sudah baca beberapa kali novelnya (dulu masih SUWUNG) dan masih enak dibaca.
Kelebihan novel ini adalah dialog yang mengalir dan narasi yang enak di mata. Tidak heran karena seorang psikolog muda diajak berkecimpung memberi masukan, sehingga membuat kita bisa ikut depresi saat membacanya. Apalagi pada bagian percakapan satu orang namun memiliki dua kepribadian, bahkan penulis pun sangat berterima kasih untuk bagian itu.
Kalau kekurangannya, saya sih tidak biasa mencari-cari kekurangan, tapi yang agak mengganggu adalah typo yang terjadi di beberapa bagian, sehingga membuat mata saya berkunang-kunang. Selebihnya, saya acungi jempol.
Entah mana yang saya sarankan untuk dibaca terlebih dahulu, versi SUWUNG atau versi sekarang. tapi, dua buku tersebut tidaklah mengecewakan, karena Anda akan terbawa arus depresi yang diderita para tokoh cerita.
Oh sunyi, kau memang tak nampak.
(Mungkin nanti saya akan membuat resensi novel SUWUNG. Walau terlambat, lebih baik daripada tidak sama sekali bukan?)
(Mungkin nanti saya akan membuat resensi novel SUWUNG. Walau terlambat, lebih baik daripada tidak sama sekali bukan?)