Berpihak Ke mana?

By Abdullah Abus - 8:51 PM

Oleh : Abdullah Abus

Ketika melihat fenomena saat ini, sungguh sangat memprihatinkan. Pasalnya, banyak pertengkaran terjadi. Ternyata, itu akibat dari berita/informasi yang bernada provokatif atau palsu alias hoax (satir pun sepertinya berbahaya bila tidak jeli). Sejauh pengamatan saya, akibat dari tulisan seperti itu mampu menceraiberaikan antara suami dan istri, anak dan orang tua, persahabatan, bahkan lebih buruknya putus silaturahmi. Seperti zaman Jahiliyyah saja.

Sungguh, begitu menakutkan mengetahui realita seperti ini. Penggembosan oleh oknum yang ingin mencari untung di Indonesia, cukup berhasil. Persatuan tidak lagi dianggap penting, bahkan identitas bangsa ini pun berubah. Dari yang ramah menjadi pemarah. Sungguh lompatan kuantum yang sangat tinggi. Bahkan sampai pada tingkat kalau tidak sama itu musuh. Harus diperangi.

Apalagi ketika rakyat dijejali sikap benci pemerintah yang sangat masif. Memang pemerintah perlu kritikan dan masukan. Tapi kalau sikap benci terus yang dilontarkan, sangatlah tidak etis. Caci maki, fitnah dan hasut terus digaungkan. Berakibat sifat latah bangsa kita semakin menjadi-jadi. Yang saya takutkan, ketika hawa panas sudah di ubun-ubun, maka masyarakat akan mengeksekusi pemerintah dengan bantuan militer. Maka, fenomena Arab Springs bisa terjadi di sini. Apatah ketika Muhammad Mursi dikudeta oleh militer atau penggulingan Bassar Assad yang masih terjadi. Ingat-ingat saja apa yang terjadi.

Sungguh, bangsa ini sedang dirusak dari luar, apalagi melalui sosial media. Hal seperti ini pernah terjadi di Suriah, dan sejak saat itu, hancurlah Suriah karena berujung pada peperangan tanpa ujung.

Bahkan saat ini (khususnya Indonesia) banyak oknum yang melemparkan hal-hal berbau hoax atau membuat meme di media sosial yang cukup membuat kepala panas lalu diamini oleh masing-masing pihak. Baik itu yang bersumbu maupun tidak bersumbu. Baik itu yang (terlalu) kanan dan (terlalu) kiri. Yang diam dianggap pengecut dan akibatnya bisa terprovokasi. Akhirnya, semrawut lagi.

Sikap radikalisme memang sedang berkembang. Tapi sayangnya, bukan teror seperti bom yang membuat korbannya tak bernyawa dan habislah perkara, namun teror mental yang membuat pola pikir dan nalar yang jernih jadi rusak, walaupun bernyawa tapi mereka berbeda dengan dirinya yang dulu bahkan bersemangat untuk menyebarkannya pada orang lain, laiknya zombi. Apalagi ketika timbul kesombongan dengan golongannya sendiri (baik kanan atau kiri).

Diperparah dengan menyebarnya media tak jelas (mungkin yang jelas juga) yang tak hentinya cari untung, para penebar fitnah yang tak mau ketinggalan dan tukang cari duit dengan cara instan yang terus bermunculan. Bikin kepala sakit dan geleng-geleng. Sakit hati jangan ditanya. Sedih dan kecewa otomatis muncul, karena sudah jadi bagian dari efek domino.

Tren hanya membaca judul berita tanpa melihat isinya (teringat perkataan kang Hendra) mulai terjadi, maka susah sekali dibendung dampak kerusakannya. Bukannya karena mereka menyimpulkan sendiri dari judul, tapi ini jadi tolak ukur bahwa bangsa ini tingkat literasinya masih lemah. Mereka tidak mau membaca yang panjang-panjang.

Edukasi yang masif sulit dilakukan karena keterbatasan dana. Umat memang banyak, tapi tidak sedikit dana yang dibutuhkan. Dipersulit lagi oleh kasus korupsi yang tak hentinya terdeteksi. Makin kacau balau.

Saat ini bukan Satria Piningit yang kita butuhkan, tapi kesadaran bahwa kita sedang dikotak-kotakkan oleh musuh. Maka kita harus bersatu. Kita bangsa Indonesia jangan sampai terpecah belah (walaupun itu sedang terjadi), karena tidak ada revolusi yang tidak membutuhkan nyawa, mau seputih apapun itu.

Wahai kaum muslimin, bersatulah. Bersatulah. Bersatulah.

Bandung, 7 Januari 2016

  • Share:

You Might Also Like

0 comments